Beberapa
tahun terakhir muncul tren menikah muda atau menikah pada usia remaja (10-19
tahun). Ada yang sudah menikah pada usia 17 tahun, 18 tahun bahkan bulan April
sempat dihebohkan dengan dua anak SMP di Bantaeng, Sulawesi Barat mendaftarkan pernikahan mereka
ke Kantor Urusan Agama. Calon pengantin wanita baru berusia 14 tahun 9 bulan,
dan calon pengantin pria 15 tahun 10 bulan. Dari berbagai sumber, pernikahan keduanya dikarenakan pihak calon
mempelai wanita menyebut takut sendiri di rumah, setelah ibunya meningal
setahun yang lalu.
Selain itu akhir April 2018
(28/4/2018) kembali muncul pernikahan dua anak di Maros, Sulawesi Selatan. Pihak
mempelai lelaki, ST baru berusia 14 tahun. Sedangkan istrinya, RS, berumur 16
tahun. Keduanya melangsungkan pernikahan di Makassar lalu menggelar resepsi di
rumah mempelai perempuan di Dusun Balangkasa, Desa Majannang, Kecamatan Maros
Baru, Maros. Kedua anak tersebut dijodohkan oleh orang tua mereka yang masih saudara
kandung dengan alasan ibu pihak laki-laki sering sakit dan tidak ada lagi anak
perempuannya yang merawat.
Saat
ini perkawinan di Indonesia masih diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia
No. 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 1 yang memperbolehkan adanya perkawinan apabila
pria minimal 19 tahun dan wanita minimal 16 tahun. Selain itu jika
umur salah satu atau kedua calon mempelainya dibawah usia minimal tersebut tetap
ingin melaksanakan perkawinan, orang tua
pihak laki-laki dan orang tua pihak perempuan dapat minta dispensasi atas
ketentuan umur kepada Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan
Negeri bagi yang non-Islam (Pasal 7 ayat [2] UUP jo.Pasal 1 huruf b PP No. 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Pengajuan
dispensasi tersebut diajukan ke Pengadilan sesuai wilayah tempat tinggal
pemohon.
Sebenarnya
peraturan tersebut patut disayangkan mengingat jika ditinjau kembali dari aspek
kesehatan, usia 10-19 tahun masih tergolong remaja terlalu dini untuk sebuah
pernikahan, hubungan seksual, hamil, dan mengurus anak.
Selain itu secara biologis perkembangan organ reproduksinya belum sempurna. Pernikahan dini juga dapat
menimbulkan beberapa dampak diantaranya adalah;
1. Meningkatkan
Resiko Kanker Serviks
Menurut Abrori M. Kes.,
dosen Ilmu Kesehatan Reproduksi Universitas Muhammadiyah Pontianak, menyatakan
bahwa belum matangnya sel-sel leher rahim pada wanita muda menyebabkan mereka
lebih rawan terkena infeksi ketika melakukan hubungan intim. Organ reproduksi
wanita berusia 12-20 tahun sedang aktif berkembang. Idealnya sel-sel leher
rahim ini tidak mengalami kontak atau rangsangan apapun dari luar selama aktif
membelah diri. Namun, karena beberapa hal, semisal penetrasi penis dan masuknya sperma, sel kemudian dapat tumbuh
secara abnormal dan menjadi awal mula munculnya penyakit kanker rahim (kanker
serviks)
2.
Risiko Kekerasan Seksual
Meningkat
Studi menunjukkan
bahwa dibandingkan dengan wanita yang menikah pada usia dewasa, perempuan yang
menikah pada usia di bawah 18 tahun lebih cenderung mengalami kekerasan dari
pasangannya. Karena pada usia ini, ditambah dengan kurangnya pengetahuan,
seorang perempuan di usia muda akan lebih sulit dan tidak berdaya menolak
hubungan seks.
3.
Meningkatkan Resiko Mordibitas dan Mortalitas Ibu
serta Bayi, seperti:
a. Keguguran. Hal ini disebabkan
karena dinding rahim atau endometrium belum terlalu kuat sehingga proses
menempelnya embrio ke
dinding rahim tidak optimal. Kondisi inilah yang berisiko terjadinya keguguran.
b. Preeklamsia dan
Eklamsi. Pre-eklamsia
adalah kondisi dimana tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg yang disertai adanya
protein dalam urinnya. Biasanya ditandai dengan nyeri kepala hebat dan
pembengkakan pada kaki, tangan dan wajah. Pre-eklamsia tidak dapat dideteksi
sejak awal kehamilan, kondisi ini sering muncul saat telah mendekati
persalinan. Jika tak segera ditangani dapat menimbulkan eklamsi (kejang-kejang)
bahkan kematian.
c. Bayi Prematur. Jika remaja yang hamil tidak mendapatkan perawatan yang
cukup atau mengalami kondisi tertentu dapat berisiko melahirkan prematur atau
persalinan yang terjadi sebelum bayi berusia 38-40 minggu. Bayi prematur berisiko
gangguan pernapasan, sistem pencernaannya belum sempurna atau gangguan organ
lainnya.
d. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) dan
Cacat Bawaan.
Kondisi ini dipengaruhi kurangnya pengetahuan ibu tentang kehamilan,
pengetahuan tentang nutrisi kehamilan, jarang melakukan pemeriksaan kehamilan
(ANC), serta kondisi psikologi ibu kurang stabil. Sehingga gizi selama
kehamilan yang diperlukan untuk pertumbuhan tidak tersedia dengan maksimal. Hal
tersebut mengakibatkan makin tingginya kelahiran prematur, berat badan lahir
rendah dan cacat bawaan
e. Perdarahan saat persalinan
antara lain disebabkan karena otot rahim yang terlalu lemah dalam proses
involusi atau kembali ke bentuk semula.
f. Robekan
jalan lahir terjadi
karena tingkat elastisitas vagina pada saat proses persalnan belum sempurna.
Robekan yang luas dapat menyebabkan saluran kencing atau feses menjadi satu
dengan vagina atau disebut fistula vesikovaginal (merembesnya
air seni ke vagina) dan fistula retrovaginal (
keluarnya gas dan feses/tinja ke vagina)
g. Depresi
Post Partum.
Hamil diusia remaja lebih berisiko mengalami depresi postpartum yaitu kondisi
ibu tidak menerima atas kelahiran bayinya dan dapat mengganggu perawatan bayi
yang baru lahir. Ibu yang mengalami depresi perlu terapi dari psikolog agar
tidak berlanjut pada postpartum psikosis yang berpotensi melakukan tidakan
berbahaya bagi dirinya maupun bayinya.
4. Gangguan Psikologis (Resiko
Perceraian dan Bunuh Diri Meningkat)
Pasangan yang menikah di usia muda dinilai masih memiliki
ego serta tingkat emosional yang belum stabil. Hasilnya, pasangan yang
menikah di usia muda akan mudah merasa cemas serta panik dalam menghadapi
perubahan peran serta tanggung jawab yang harus diambil. Tidak jarang, kondisi
ini berujung pada perceraian, menurunnya kesehatan mental satu atau kedua belah
pihak, bahkan memicu timbulnya depresi hingga keinginan untuk bunuh diri.
Melihat dari beberapa
resiko yang dapat terjadi, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
sebenarnya telah mengkampanyekan program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP)
yaitu meningkatkan usia perkawinan pertama minimal usia 21 tahun pada perempuan
dan 25 tahun bagi laki-laki. Karena diyakini di usia-usia tersebut sesorang
dianggap telah lebih dewasa dan bertanggungjawab. Berdasar hasil sebuah riset
yang melibatkan 1.000 responden pria berusia 25-34 tahun, didapatkan hasil
bahwa sebanyak 81% dari mereka meyakini usia antara 25-27 tahun adalah waktu
yang tepat untuk menikah. Pada usia-usia tersebut seorang wanita dan laki-laki
sudah matang secara organ reproduksinya dan telah siap untuk meneruskan
keturunan. Selain itu tingkat kedewasaan dianggap sudah cukup, dan pendidikan
yang cukup serta pekerjaan yang jelas dan lebih mandiri dapat menjamin
keharmonisan bisa lebih besar juga dibandingkan dengan nikah di usia muda.
Oleh karena itu
alangkah lebih baiknya untuk mendewasakan usia perkawinan agar risiko-risiko
kesehatan dapat terminimalisir dan tingkat mordibitas dan mortalitas ibu serta
bayi dapat menurun. Menikah pada usia yang ideal juga diharapkan dapat menurunkan
tingkat perceraian dan meningkatkan keharmonisan berumah tangga. Sehingga dari
keluarga-keluarga yang harmonis inilah dapat terlahir generasi-generasi penerus
bangsa yang berkualitas dan tumbuh dengan penuh kasih sayang.